Selasa, 28 Desember 2010

Dua Sisi

Gelap

aku mencintaimu! aku menulis kembali kalimat itu. di lantai dingin. kata-kata yang berebut tempat dengan tubuh. berlabuh di sudut-sudut gelap. telah karam kapal doa dalam gelombang malam. lambung waktu pecah. terlempar dari dinding ke dinding. keningku terus menulis kalimat itu. garam meninggalkan luka. perih kesepian terpisah dari nyeri. kesunyian perlahan dipenuhi lolongan. seperti kurusetra yang ditinggalkan peperangan. ada yang menghitung huruf demi huruf. gema.

2010

cahaya

aku milikmu! bisikku di sebuah subuh. sebelum bayangan menyergap dan mimpi menghilang. lambaian bintang terakhir menjauh di riuh namamu. tubuhku seperti subuh. sesaji yang hampir habis. jembatan yang akan lenyap. aku milikmu! bisikku sambil berjalan dalam regukanmu. ketika lampu seluruhnya padam. aku menjadi dirimu atau kau menjadi diriku. di perbatasan. bumi dan langit. menguncup matahari.

2010

Sebuah Negeri dalam Sejarah

angin mengendapkan tulang belulang cuaca. mataku. mataku adalah mata manusia yang selalu terbentur kabut. berdiri di sebuah musim. di sebuah negeri. aku tahu negeriku menyimpan semua genangan darah dalam sebuah guci kenangan. mataku telah mereguknya. semakin rabun. tinggal airmata menulis semua kegelisahan di tanah yang basah. lalu kurasakan sungai-sungai tercipta dari celah-celah jemari kakiku. menenggelamkan seluruh arah menuju laut. sebuah kitab yang dipenuhi bait kesedihan dan irama kehilangan melayarkan kapal-kapal ke dalam senyum bajak laut. aku hanya sanggup merajut seluruh suara menjadi kantung besar kematian. kumasukan seluruh kebutaanku, dalam pestapora para hantu. kekasih, angin mengendapkan tulang belulang cuaca. sedang yang mengendap dimataku, hanya raut. hanya maut. hanyut.

kegelapan menyuburkan reruntuhan cahaya. tanganku. tanganku meraba setiap lekuk, selalu terbakar oleh jejak riwayat. merapyap di sebuah perbatasan. di sebuah sejarah. aku tahu sejarah seperti perempuan tua di panti jompo. dicintai, melahirkan dan dilupakan. tersingkir seperti beling. tanganku telah meremasnya. semakin luka. tinggal darah merajah puing-puing. sajak-sajak mengalir dari setiap urat yang tergerai. melupakan seluruh tujuan. memadatkan ledakan demi ledakan ke dalam mulut kesunyian. kekasih, kegelapan menyuburkan reruntuhan cahaya. sedang yang mekar di tanganku, hanya nanah. hanya resah. kalah.

2010

Dingin

kau yang hadir tapi tak mampir. dingin tak lelah mengiris seluruh bisikanku menjadi sesaji. napasku adalah dupa yang dibakar waktu. semuanya telah mengelupas. usia. selubung kegelisahan yang membawaku pada terang dan gelap. menuntun dan menjerumuskan. namun kufahami hakikat cinta, justru pada lorong-lorong yang menyeretku jauh darimu. jarak mengajarkan getar yang terus tumbuh ketika dibunuh. bahwa cahaya tak dapat ditebas. bahwa aku tak bisa lepas. kecuali cemas.

hampir kau mampir. setelah sehutan namamu kutelusuri. pohon-pohon yang ditanam masasilam. daun-daunnya selalu gugur. seperti teriakanku yang kembali sebagai kesunyian. dilumat tanah. maka kutanam pohon baru dari biji pengembaraan. kupanggil seluruh namamu. dengan diam dan tanpa suara. tiba-tiba namamu terdengar berulangkali di udara. memijar. begitu mirip dengan namaku. ah, kau memang selalu hadir. selalu hampir. dan aku semakin dingin. semakin ingin.

2010

Surat Cinta

ini malam yang menggelisahkan. hujan melukai punggung daun dan pekarangan menampung suara-suara yang lepas dari genting kesunyian. cuaca semisal pengantar risalah yang tak dapat kuurai. hanya gemuruh yang terus bergulung sepanjang rak buku. menampar-nampar dinding. bermuara di keningku. seseorang akan datang menerobos deras, mengetuk pintu, dan membacakan setiap ayat yang tak dapat kutangkap. barangkali waktu. atau maut. kau selalu saja mempertebal selubung untuk denyut yang harus kureguk. sementara haus selalu tak mau menunggu. datanglah, tanpa menyuruh siapapun. aku ingin saling meminum tanpa batas apapun. mungkin rumahku terlalu sempit dan penuh. namun, seperti wajah. ada ruang antara alis dan mata. ceruk yang kusiapkan, agar gelak airmata kita tak terbaca ketika terjaga.

2010

Senin, 13 Desember 2010

Sajak Pengantar Tidur

seandainya kita bisa saling menukar kantuk. seperti minuman atau candu. namun kantuk bukan mabuk yang begitu mudah kita cari di negeri ini. rumah-rumah telah menutup pintu dan toko-toko telah mengunci untung rugi. kita masih memiliki jalan sunyi sepanjang kota. hantu-hantu di tiap tikungan. dan kegelapan. tak terdapat kantuk di rambut pelacur atau ketiak gelandangan. labirin tumbuh dimana-mana. kita mengasah belati di bolamata. berjalan terus mencari cahaya.
kita terjaga sambil menggambar tidur. menulis mimpi di trotoar. tubuh kekasih. dan kegelisahan. ranjang adalah pengembaraan. seperti sajadah. tak ada yang terpejam walau jam lelap dan detik pulas.
seandainya kita bisa saling menukar kantuk. barangkali maut terkejut.
2010

Sebuah Meja

- Gusjur Mahesa
telah sampai padaku sebuah meja. sepanjang malam aku ajak bercakap. maka ia berkisah tentang hujan yang menimba kilometer demi kilometer. perjalananmu. kota juga negeri, seperti panggung, tak akan pernah habis untuk ditaklukkan. barangkali semisal cinta. begitu pun meja itu berkisah. ia telah merekam seluruh denyut pengembaraanmu dari gigil tulang punggung yang kau sembunyikan dalam jaket kulitmu. ada semacam gelegak kenangan yang membuatmu berulangkali menarik napas panjang begitu sampai di kotaku. seperti kau hirup kehidupan, dan kau hembuskan segala yang berbau maut.
telah sampai padaku sebuah meja. sepanjang malam aku ajak bercakap. maka ia berkisah tentang murung yang terus dibakar kesibukan demi kesibukan. waktumu. sakit juga impian, seperti lakon, selalu tumbuh dan diburu. barangkali semisal kecemburuan. Meja itu mendesah panjang. ia telah mendengar ketakutanmu pada perut, padahal usia tak pernah membuatmu ngungun. ada semacam linu rindu yang menjelma lindu di setiap kedatanganmu. seperti kau tangkap sebuah nama, dan kau hamburkan segala yang mempunyai nama.
telah sampai padaku sebuah meja. coretan-coretan doa. sebuah peta. sebuah dunia. ia berkisah banyak padaku malam ini. sampai tak sempat kuucapkan terimakasih.
2010

Barangkali Aku datang Terlambat

kau tidur lebih awal. sebelum subuh menabur gaduh yang kau gilai. lututmu masih menekuk dan sujudmu masih mencari. namun kau telah tertidur dan mengawali mimpi panjang. lebih panjang dari gaun pengantin. lebih panjang dari garis luka sembunyi ditubuhmu. memandangi lelapmu. aku mencari sisa airmata yang jatuh, seperti mencari nada yang lepas dari sebuah lagu. barangkali aku datang terlambat. seluruh doamu tinggal gema. di dinding dan lantai. tak sempat bercakap. atau saling membuka pintu. aku tak pernah tahu bagaimana membuka diri. sendiri. mencari kunci yang tersimpan dalam dirimu. seribu pintu dalam diriku kini berontak. kata-kata. kata-kata nanar menatap tidurmu. di atas sajadah.
2010

Melompat Ke Sebuah Negeri

hujan membuka gerbang. cuaca menoreh jalan setapak. kabut yang luruh. sebuah negeri melambai. berlarilah, berlari dan melompatlah segera. aku terus menghirup hutan. memanggil seluruh nama yang akan kutinggalkan. menyentuh rumpun-rumpun yang segera menjelma rindu. sebentar lagi aku mengenal kenangan dan kehilangan. aku akan melompat ke sebuah negeri. negeri dengan samar wajahmu. nanar matamu. gigil bibirmu. getar bayang-bayang. kau telah memanggilku ratusan tahun, ribuan musim. suaramu tersimpan dalam hikayat. tertulis pada prasasti. terpahat di patung-patung. suaramu dibakar dan membakar sejarah. menjelma api abadi. desisnya disampaikan desir angin. pulanglah, pulang ke medan perang, melompatlah, melompat ke tajam tombak. aku akan melompat ke sebuah negeri. pergi menuju nyeri dan ngeri. menuju rasa sakit sebuah kelahiran, meninggalkan nyaman kematian.
2010

Warisan Hujan

hujan telah berangkat ke utara. cikaracak dan sepasang cicak. seperti cermin yang sengaja disisakan. bagi siapa saja yang terjaga di pekarangan. segalanya basah. jejak yang tertinggal. masih ada yang berlari. saling bermain. angin dan dingin. seperti kau dan aku. gigil. dini hari. sejengkal lagi tahun menepi. kita menghitung nisan hari, membaca nama kita yang berulangkali mati. detik menjelma cikaracak. semakin pelan. lambat. habis.
2010

Kerinduan

aku ingin menjumpaimu selepas hujan. kita akan bercermin pada genangan di jalan. lantas menginjaknya bersamaan. sambil tertawa yang dirasuki candu. kita akan berjalan mengenang seluruh kisah yang masih basah. seperti sepasang pemabuk yang tak pernah berpikir akan menemui ujung. padahal maut telah bersarang dan mengendap.
kita melepas sepatu. agar keriangan menyentuh bumi. dan kita menjelma bocah yang tak lelah bermain, bahkan ketika rasa sakit telah mampir dan mengiris. aku selalu ingin menjumpaimu selepas hujan. memulai pengembaraan. menziarahi tempat-tempat yang tersembunyi dalam kotamu. juga rahasia-rahasia yang kita simpan.
aku ingin menjumpaimu selepas hujan. maka selalu kupanggil hujan. sementara kau terus-menerus menolak hujan.
2010

Hijrah

aku telah berangkat ke utara. bergegas ke selatan. arah adalah semacam perangkap. seluruh jalan yang dicatat sejarah hanya untuk masa silam. menuju dirimu, wahai musim berselimut teka-teki, kupahami adalah menciptakan arah sendiri. kuikuti burung-burung, kususupi gerak angin, kucuri peta matahari. ahai, setiap jiwa mempunyai jalan sendiri-sendiri. tak ada jalan yang sungguh-sungguh bisa diikuti untuk menuju dirimu yang sesungguhnya. maka mengembara sejatinya menggambar peta sendiri. terjebak dan tersesat. terkejut dan terpukau. barangkali aku semakin jauh darimu. namun ujung dari segalanya kupastikan dirimu. dirimu wahai mahagerak, aku mencintaimu, kepadamu hijrah ini tak akan pernah usai.
2010