Sabtu, 27 November 2010

Surat Cinta di Musim Hujan

- Wida Waridah

musim ini datang kembali. rintik dan gigil. kita terlahir di sini, sayang. seperti burung-burung di bukit belakang kampungku. tapi surat cinta ini belum juga usai, sementara burung-burung telah pandai berkicau dan berulangkali kawin. jariku telah menjelma gerimis. puisi mengalir di daun-daun. di genting. serta jalan-jalan. bagaimana menemu ujung jika kerinduan terus tumbuh. hujan bahkan menyiramnya dengan hasrat yang deras. betapa subur huruf-huruf saling bertaut, kadang saling menjangkau, seperti menjauh.dan kita tiba-tiba memahami apa sebenarnya kemerduan.

musim hujan. surat cinta seperti perjalanan yang kita nikmati setiap likunya. seperti lekuk tubuh yang terus meminta disentuh. kata-kata menjelma kalimat lantas memadat kembali menjadi kata. tak seperti luka yang berakhir kering, tak seperti kenangan yang lekas memudar. surat cinta selalu basah. seperti ciuman. seperti kasih seorang ibu.

2010

Pulang

- Iqbal Fatria Gumiwang

kota-kota yang kita lewati adalah perjalanan yang mengantar kita menuju rumah. barangkali kau menghirup udara yang terus berubah. hiruk pikuk yang terus menyusut menjadi sunyi. setiap kilometer adalah bait-bait puisi yang mengingatkan kita pada jarak dan waktu. pada gerak yang mesti terus dipelihara.

setiap kota mempunyai wajah yang berbeda, dan menyembunyikan wajah yang lainnya. barangkali matamu menangkap kegelisahan di setiap bangunan yang berlarian di jendela mobil. atau kengerian pohon-pohon yang berlintasan seperti burung. begitulah perjalanan selalu dihinggapi misteri tentang akhir dari segala sesuatu, yang seringkali ingin kita kejar namun tak pernah terpeluk. kematian tersenyum di setiap tikungan tajam. namun kita mempunyai senyum kehidupan yang lebih segar dari janji keabadian.

jalan tak pernah sama. semakin lengang dan berkelok, kadang meruncing dan menanjak. bukit-bukit dan hujan seperti melompat bersamaan dalam ingatan. angin tiba-tiba mengirim nyanyian, apakah kau mendengar kidung para leluhur dari daun-daun yang melambai. atau airmata yang mengantar kepulangan. seperti juga pengembaraan, kita pada akhirnya kembali pulang ke rumah.

2010

Sajak Terang Bulan

malam melompat ke dalam bulan. aku terlontar ke dalam sajak. barangkali sama-sama tersesat. aku melihat malam semakin dalam menghisap puting cahaya. sementara aku terhuyung meneguk anggur rindumu. udara dipenuhi serbuk airmata. aku tak tahu bahwa kau ternyata menangis dalam kemabukanku. aku tak tahu siapa yang sesungguhnya memeluk. seperti juga malam yang kian lebur ke bulan. aku merasuk jauh padamu, wahai kata-kata. langit dan bumi menjelma sepasang ranjang. aku berlari dari satu ranjang ke ranjang yang lain. bergumul denganmu hingga lenyap waktu. hingga hilang tubuh dan tumbuh tubuh yang baru.

2010

Senja

kepak sayap. desir angin. darah senja di keningmu. sebuah jalan setapak. kelahiran dan kematian saling melambai. aku menyentuhmu berulangkali. menyentuhmu di atas jembatan. memulai ciuman demi ciuman, sekedar melupakan kenangan dan ketakutan. seperti airmancur, usia tiba-tiba memancar di udara. burung-burung beterbangan dengan paruh tahun yang tak sama. aku tak lagi menghitung ke belakang sebab hitungan ke depan akan lebih buas memangsa. ledakan-ledakan saling susul dalam gema. aku melihar seluruh serpih kehidupan. gunung, bukit, sungai, laut. melompat bersamaan di udara. menjelma lilin. angin memetik api. malam mengepak. darah senja mengalir di keningmu. menulis jumlah usiaku.

2010

Di Kebun Sendiri

malam ini kesunyian menampakkan kedua matanya. sapasang lengannya muncul dari lebat hujan, menghantar lilin. laut dan gunung yang menyala untuk mataku yang buta. aku mengejar kelebat tubuh yang memanggul waktu dalam kabut. berlarian ke balik pohon-pohon kenangan. musim-musim yang menyimpan potongan-potongan kecemasanku, berhamburan seperti tahun. aku tersesat di kebun sendiri.

aku memasang dua mata yang nyala itu di kelopak mataku. matamu mataku juga bukan. malam ini kau mengijinkan aku menembus seluruh selubung tubuhmu. tubuhmu yang terus muncul dan menjauh. tumbuh dan luput. sepasang lengan melukis tubuhku dengan dengan sepasang lilin. di pundakku sepasang lilin ditanam. sepasang api menari dalam hujan. matamu makin hidup dalam kelopak mataku.

aku masih tersesat di kebun sendiri. dalam rimbun usia. jejakmu tampak di jalan setapak. pada patahan dahan. pada basah airmata. tentu ini matamu. mataku sudah sangat lama tak lagi dapat menangkap isyarat dan gelagat. tentu ini matamu. dua mata yang menyalakan sepasang lilin dipundakku. seperti sepasang arah. sepasang kegembiraan. sepasang kebahagiaan. dua mata menyuruhku kembali mencangkul kata dalam cahaya sepasang lilin. barangkali tubuhmu sesungguhnya terdapat dalam kata.

malam ini kesunyian memakai mataku. dan kau menangis rindu dalam detik.

2010

Sajak Pengantar Tidur

seandainya kita bisa saling menukar kantuk. seperti minuman atau candu. namun kantuk bukan mabuk yang begitu mudah kita cari di negeri ini. rumah-rumah telah menutup pintu dan toko-toko telah mengunci untung rugi. kita masih memiliki jalan sunyi sepanjang kota. hantu-hantu di tiap tikungan. dan kegelapan. tak terdapat kantuk di rambut pelacur atau ketiak gelandangan. labirin tumbuh dimana-mana. kita mengasah belati di bolamata. berjalan terus mencari cahaya.

kita terjaga sambil menggambar tidur. menulis mimpi di trotoar. tubuh kekasih. dan kegelisahan. ranjang adalah pengembaraan. seperti sajadah. tak ada yang terpejam walau jam lelap dan detik pulas.

seandainya kita bisa saling menukar kantuk. barangkali maut terkejut.

2010

Kamis, 18 November 2010

Kau

1

kau menyelinap dalam cuaca. rintik gerimis di daun, adalah jejakmu yang seperti ingin dibaca sebagai rindu. sedang abu kayu bakar adalah jejakmu yang lain, seringkali diam-diam kutafsirkan sebagai cinta. tapi aku tak tahu apa-apa tentangmu, selain napasmu yang kuhirup dalam setiap cuaca.

kau menyelinap dalam usia, sayang, detik menyimpan ledakan kasihsayang.

2

terang dan gelap adalah wajah yang kau tampakkan, masih juga aku mencari wajahmu yang lain. kau selalu terjaga, tetap saja kuburu tidurmu. setiap kali kuusap wajahku, setiapkali aku terkejut dan surut.

3

barangkali tak akan pernah dapat kutemui kau di luar sana. barangkali kau tak pernah kemana-mana. ah, dunia seperti khayalan yang lekas sirna. sedang kau abadi di sini, sembunyi dalam diri.

4

serbuk hujan dan kabut turun, angin dingin dan siang kehilangan langit. bukit samar dan bayang pohon, jalan setapak dan arah basah. kau melukis musim sepanjang urat nadi kesunyian.

5

seringkali aku letih dan ingin berpaling, memekik dan mencaci, saat aku susuri garis-garis perjalanan di sehampar telapak tanganmu. sementara kau tak pernah lelah mengalir dalam urat-urat darahku, terjun dalam arus sungai dan menyentuh seluruh batu dan kerikil, mewarnai sisik ikan dan menciumi getar sirip mereka yang riang sekaligus cemas. kau mengasuh akar-akar dan bertapa di muara, lalu terus saja bersenandung di laut hidupku. hidupku yang tanpa batas dan tak dapat ditampung oleh peta manapun.

seringkali aku menangis dan kulihat kau berlinang di setiap tetes airmataku.



2010

Menulis Namamu

(1)
aku ingin menuliskan namamu di sini, sayang, ketika dunia tinggal gema dan hujan hanya membawa riwayat kenangan. namun kota yang kudiami tak lagi memberi lahan untuk mengucurkan huruf-huruf namamu. barangkali aku harus memburu sujud yang lain, yang tak lagi merindukan sajadah. barangkali aku harus mabuk dengan anggur yang lebih murni.
(2)
bagaimana sungai menulis air, ketika arus membuatnya mabuk. batu-batu hanya gaduh oleh sunyi. oleh kabar tentang laut, tentang maut. semisal sungai, sayang, aku meluap namun tak bisa menulis namamu.
(3)
bukan kesepian atau kerinduan yang melontarkan diriku dari dunia. menjelajahi ketiadaan yang ditinggalkan adam. bukan, sayang, bukan pula cinta atau kecemasan. kehilanganlah yang memberiku tongkat pengembaraan. lalu aku berjalan jauh ke dalam diri. tanpa lampu, sebab aku tahu aku menuju cahaya. tanpa peta, sebab aku tahu aku menuju arah. namun entah dimana dan kapan akan kutuliskan namamu.

2010

Perjalanan

ribuan kilometer untuk sampai padamu dari jam 00. ransel dan jaket melekatkan harum tubuhmu ke dalam tubuhku. malam melepasku dan aspal yang hitam menarik seluruh kerinduanku. ada semacam lagu yang tiba-tiba tercipta tanpa sengaja, lalu mengepak jauh seperti burung yang hendak mendahuluiku untuk sampai padamu. namun udara dingin menahan kepak sayapnya. pohon-pohon palem yang terjaga. alun-alun yang bergetar. aku merasakan lahirnya kegelisahan.aku memanggil namamu berulang-ulang. berputar-putar. ribuan kilometer aku berputar-putar. setiap putaran adalah perjalanan memelukmu. lalu aku tahu dari jam 00 aku telah sampai padamu. dan ribuan kilometer aku bersamamu. dan perjalanan adalah hanya perjalanan.
2010

Pertemuan

(1)
kedatanganmu kini begitu sederhana. tanpa karnaval juga pestapora. dari sebuah jalanan sempit kau berjalan. tanpa kata-kata juga kalimat. langkahmu menyerap bulan dan hujan. langit malam meresap di wajahmu. matamu senyap. kau mengajakku diam. sebuah pertemuan yang lain dari biasanya. namun debar dalam dadaku tak pernah bisa sederhana. sungai dan laut saling berlomba menyambutmu. Diamlah! maka gemuruh semakin rakus melumatmu.
(2)
ah, matamu kian senyap. riwayat apa gerangan yang malam ini ingin kau simpan diam-diam ketika bibir kecemasanku begitu haus meneguk pertemuan. telah ribuan abad kau berjalan. jika pada akhirnya diam, sayang, apakah kata-kataku telah menjelma kata-katamu yang tak terucap. barangkali kau hanya ingin menemuiku dengan wajahmu yang lain. barangkali wajahmu yang sesungguhnya. tanpa luka juga tawa.
2010

Sebuah Rumah

sepasang kolam yang bergetar. sebuah jalan setapak berwarna merah. kupu-kupu di bibir melati. seekor burung bercakap dengan matahari. angin mencari dirinya sendiri. hilir mudik dalam kenangan. pohon jeruk serimbun rindu. ada yang perlahan mekar menjadi kata-kata di pekarangan. kuketuk pintu dalam dadaku.
2010

Jalan Setapak

jalan setapak dari matamu itu, berkelok ke sudut bibirmu. ke senyummu. lantas puisi mengalir turun ke belahan dadamu. ini masih perjalanan, bisikmu sambil berjalan-jalan di atas tubuhku.
2010

Kepadamu, Seluruh Sajak Bermuara

di dalam kamar aku memintal seluruh kecemasan dari abad-abad gelap, malam-malam berdatangan disertai denting gelas yang melulu gelisah. aku meneguk waktu dan wajahmu bergoyang di dinding-dinding sunyi. kau selalu datang menggoda puncak-puncak mabukku. berdansa denganmu adalah pasrah pada geliat ajal, menari denganmu adalah tunduk pada liukan maut. sajak merayap dari sudut-sudut yang tak terlacak oleh sejarah. dari lemari-lemari kenangan, kata-kata menyalak seperti kecemburuan, sebuah peta terhampar dan masa depan berlarian sebelum kembali sembunyi. wajahmu bergoyang di wajahku. matamu berlinang di mataku. kau menjelma laut, dan aku lekas sekali menjelma sungai. kepadamu, seluruh sajak bermuara. di dalam kamar aku berulangkali menjadi dirimu, berulangkali kehilanganmu.
2010

Selasa, 16 November 2010

Hujan di Bandung

hujan menjelma bahasa yang tak terungkap antara kita, sayang. sebuah mesjid mungil berwarna merah. petigaan yang basah. patung yang gigil. kita terus berjalan menumpahkan rahasia sepanjang trotoar. di kotamu seperti juga di tubuhmu, aku selalu tersesat. namun matamu kini menuntunku mengakrabi setiap arah. aku meraba semuanya dengan perasaan yang baru. barangkali kau telah mengirim seluruh peta cinta lewat hujan yang semakin deras. alun-alun dan toko minuman keras, kita melewatinya khusyuk. kuyup di sebuah jalan, aku mengingat lorong di tubuhmu. mengingat hujan yang tersimpan dalam tubuh masing-masing. Hujan menjelma bahasa yang tak terungkap antara kita, sayang.

2010

Hari Ini Aku Tak Menemuimu

hari ini aku tak menemuimu, sayang. padahal jalan yang membentang begitu lurus menujumu. aku malah berteduh di sebuah musim. menulis catatan sambil berbincang dengan kesunyian. ah, aku tak pernah bosan menemuimu, tak akan pernah bosan. namun hari ini aku ingin berpaling pada puisi. sekedar menikmati jarak dan debar yang lama tak lagi dapat kuhayati getarnya. aku tahu kau terdapat dimana saja. dalam puisi yang kini kusetubuhi pelan-pelan, kau menggeliat.

hari ini aku tak menemuimu, sayang, tak singgah di rumahmu. padahal jalan yang membentang begitu lurus menuju rumahmu. aku malah menyeduh kata-kata pada secangkir kesendirian, mengeja arus lembut di sekujur tubuh, lantas kureguk sebuah kenikmatan. sayang, ternyata diriku adalah rumahmu juga.

2010

Kota Kecemburuan

bukan lampu-lampu, atau kekumuhan yang membuatku memaksakan diri mencintaimu. tubuhmu yang mulus menyembunyikan duri, namun pada matamu aku berguru keangkuhan yang digilai para anak muda, dan pada mulutmu aku belajar keliaran yang dipuja orang-orang tua. setiap orang adalah penyair di sini. puisi tumbuh dimana-mana. di hotel, gedung tua, kampus, kebon binatang, dan jalan-jalan. kata-kata menjelma kemacetan. riuh, penuh dan tak mau menunggu.

bukan candu, atau kemabukan yang membuatku membangun rindu padamu. kecemburuan telah menyulut birahi. kau bisa menjelma apa saja. Artis cantik, toko minuman keras, tong sampah, stadion sepakbola, panggung hiburan, ring tinju. bahkan anjing. aku menciumi setiap lekuk arsitektur tubuhmu, menumpahkan sperma di setiap lorong-lorongmu. aku menyetubuhimu tak henti-henti. hingga aku tahu seberapa luas luka yang yang kau sulap sebagai taman mawar. hingga aku tahu seberapa dalam luka yang terhimpit ketiak jaman.

Rindu

rindu. bisik burung pada rumah. tak ada hutan. anak-anak tertidur. mimpi-mimpi terbakar. tak ada pohon. gadis-gadis berlomba mencari sungai dalam diri. mengalir ke dalam tivi. banjir birahi. tak ada daun. orang-orang menghisap hidup. puting-puting kesepian. bara di bibir. tak ada akar. orangtua menanam kursi di dinding. usia dan cicak. tak ada tanah. rindu. bisik burung pada maut.

Bayang-bayang

aku menguras segalanya. musim-musim dan kenangan. masalalu bergerak menuju pembuangan. tapi tak pernah segalanya mengalir habis. bayang-bayang tak henti berlarian di ruang kosong. bayang-bayang tak menetap juga tak bisa pergi. bayang-bayang melebihi segalanya. ketika masuk segala yang baru, ketika penuh dan riuh. bayang-bayang seperti lenyap, padahal ia mengendap. mengendap-endap. siap mendekap ketika lengah.

2010

Kampung Halaman

aku ingin bernyanyi menidurkan bukit-bukit yang gelisah di pundakku. aku ingin bernyanyi hingga hujan reda dan kecemasan lelap seperti bayi di susu ibunya. aku ingin bernyanyi hingga jinak seluruh ngeri.

di tanahmu aku mencium irama terus merambat. segalanya bergeser. pelukan yang terus memudar. rumah-rumah bergerak dan jalan mengaduh. tahun hampir rampung. leluhur berdatangan di daun-daun kuyup.kekasih, kematian mendekat dan menekan. bayang-bayang berjatuhan. apa yang kau hitung dalam hujan, kekasih? jumlah sayap malaikat ataukah nama-nama yang terus saja beterbangan menuju pemiliknya.

aku ingin bernyanyi. barangkali nina bobo.